Dark
Light
Dark
Light

Obituari AD Pirous (1932-2024): Tauhid, Kaligrafi, Indonesia

Obituari AD Pirous (1932-2024): Tauhid, Kaligrafi, Indonesia

Peristiwa sulit terulang di Indonesia: Festival Istiqlal 1991. Pada masa 1990-an, dakwah Islam merambah ke persoalan-persoalan seni dan kultural, meski masih dipengaruhi kebijakan-kebijakan politik Orde Baru. Kemunculan kesadaran dan gerakan dalam sastra, seni rupa, musik, dan film turut memberi pikat dalam dakwah Islam dan pemahaman Islam berpijak keindonesiaan.

Di Festival Istiqlal 1991, para tokoh dihadirkan untuk berbagi pemikiran dan membentangkan tafsir-tafsir dalam memuliakan Islam. Di situ, kita membaca beragam pendapat. Ali Audah menjelaskan: “Kesenian yang beraneka macam, sesuai dengan tempat dan waktu, berusaha menyesuaikan diri dengan tradisi keislaman, begitu juga Islam, dalam hal-hal yang yang tidak menyangkut akidah dan ibadah, dapat menyesuaikan diri dengan kesenian dan tradisi setempat.”

Syu’bah Asa ikut berpendapat mengenai kesenian Islam: “…. bukanlah yang dibuat tidak semata sebagai alat doktrin, alat komunikasi ajaran, alat para dai dan mubaligh, sebaliknya, pada tingkat ideal adalah ekspresi kehidupan keagamaan yang intens. Estetika ini mestilah memberi kesempatan kepada seluruh tendensi dan seluruh bentuk untuk tetap tinggal kekal atau berubah, dengan segala medium yang lama maupun baru.” Kita sengaja mengenang peristiwa penting dan mengutip pendapat-pendapat untuk mengenang AD Pirous (11 Maret 1932-16 April 2024). 

Pada saat orang-orang sibuk memikirkan seni dan estetika Islam, nama AD Pirous turut menjadi perhatian. Kita mengutip paparan Wiyono Yudoseputra berjudul “Ekspresi Estetika Islam di Indonesia”. Ia menempatkan AD Pirous sebagai sosok penting dan berpengaruh dalam seni lukis kontemporer. Ia memuji: “AD Pirous (pelukis dan pegrafis) dengan gaya ekspresinya yang abstrak, menyerasikan kaligrafi dengan media dan teknik yang telah lama diakrabi sesuai dengan ide dasar yang bersumber pada keberadaan kaligrafi sebagai sesuai yang kuno, arkhaik atau yang memberikan citra masa lampau” (Yustiono dan tim, Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini, dan Esok, 1993, Yayasan Festival Istiqlal).

Orang-orang mengingat Abdul Djalil Pirous berarti mengingat kaligrafi. Ingatan bereferensi kitab suci. “Saya hanya ingin menjadi Muslim yang baik,” kalimat dianggap Kenneth M George dalam buku berjudul Melukis Islam (2012) menentukan biografi, identitas, keimanan, dan pergumulan estetika AD Pirous.

Di hadapan lukisan-lukisan AD Pirous, Kenneth menafsir: “… suatu bentangan besar kanvas kekuatan-kekuatan sosial dan kultural global. Kekuatan-kekuatan itu dihasilkan dari percampuran agama, seni, nasionalitas, dan kedirian. Adakalanya dengan harapan dan potensi besar, kadang-kadang dengan panik dan bahaya besar.”  AD Pirous, seniman kondang dan berpengaruh tak sekadar di Indonesia.

AD Pirous melakukan pengembaraan jauh dalam ikhtiar mengerti dan mengalami estetika. Ia pun melakukan perjumpaan dan dialog dalam pijakan keberimanan dan keinsafan situasi dunia. Arus berkesenian itu memicu kesadaran terbuka dan terang mengenai keimanan, persahabatan, kemanusiaan, perdamaian, dan lain-lain. Bermula kitab suci, AD Pirous bergerak dalam pergumulan seni untuk “melukis” Islam.

Pada masa 1970-an, ia membuat lukisan bereferensi Al Quran. Ia mencantumkan Surah Al Ikhlas. Di depan lukisan, orang melihat huruf dan rupa. Panggilan pun terasakan, menghampiri iman dan pengalaman estetika Islam. Kita sejenak mengingat lukisan itu sambil membaca terjemahan Surah Al Ikhlas oleh Mohammad Diponegoro dalam buku berjudul Pekabaran: Puitisasi Terjemahan Juz ‘Amma (2003):  Katakan, “Ia Allah satu cuma/ Tuhan tepian tiap kebutuhan/ Tiada putera tiada ibubapa/ Tiada apa pun yang serupa. AD Pirous memang tak mencantumkan terjemahan dalam bahasa Indonesia. Orang di depan lukisan berhak khatam menikmati kaligrafi berbarengan mengingat makna “tertulis”.  

Seni dan tauhid mengantar kita ke ulasan serius dan mendalam dilakukan oleh Ismail R Al Faruqi dan Lois Lamya Al Faruqi berjudul Atlas Budaya Islam: Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang (1989). Buku tebal dan besar memberi rujukan bagi kita ingin mengerti sejarah dan perkembangan seni bertumpu tauhid. 

Kita simak penjelasan agak pelik: “Tauhid tidak menentang kreativitas seni, juga tidak menentang kenikmatan keindahan. Sebaliknya, tauhid memberkati keindahan dan mengangkatnya. Tauhid melihat keindahan mutlak hanya dalam Tuhan dan kehendak atau firman-Nya.” Semua berawal dari pemaknaan kalimat tauhid. 

Kenneth memberi catatan babak-babak perubahan AD Pirous dalam menghasilkan “kaligrafi ekspresif” menuju “estetika Al Quran.” Di arus seni rupa Indonesia, AD Pirous dengan lukisan-lukisan sejak masa 1970-an mendapat perhatian dan menghasilkan perdebatan. Ia pun mengalami pergolakan estetika. Kenneth menjelaskan: “Spontanitas dan keekspresifan yang mudah serta tanpa beban yang dia temukan dalam lukisan abstrak memberinya cara untuk mengadakan refleksi, perencanaan, disiplin, dan kontrol. Memilih surah Al Quran dan menafsirkannya secara visual, menuntut persiapan yang cermat. Upaya ini bukan sekadar bergerak dari ekspresi emosional ke ekspresi spiritual karena sesungguhnya ruh dapat mengetahui ekstasi, keterasingan, atau air mata.” Kita mengerti ketegangan dan capaian AD Pirous dalam kaligrafi.

Kita berlanjut ke penjelasan Ismail dan Lamnya: “Begitu meningkatnya kesadaran Islam dirasakan oleh masyarakat Muslim kontemporer, dan perasaan baru akan identitas etnis, nasional, dan religius menggerakkan penduduk Dunia Ketiga, ahli-ahli kaligrafi Muslim sekali lagi mengeksplorasi dan bereksperimen dengan seni mereka.” Pembahasan itu memberi perhatian besar atas kaligrafi.

Kita membaca sambil memberi tempat terhormat AD Pirous dalam seni di Indoensia atau Dunia Ketiga. Kenneth memberi kesaksian usaha AD Pirous “menjadikan seni melukiskan ayat Al Quran berwatak ‘Indonesia’ bergantung pada folklorisasi budaya visual Aceh.” Kita makin mengenali pergumulan seniman dalam pembentukan identitas etnis, nasional, dan religius.

Pengamatan dan kesaksian Abdul Hadi WM (2012) pun perlu kita sajikan untuk mengenang AD Pirous: “Sumbangannya yang terpenting bagi perkembangan seni lukis modern di Indonesia, terutama tampak dalam lukisan-lukisan kaligrafinya yang benar-benar religius dan di antaranya sufistik. Dia adalah pelopor dalam genre ini, dan dari genre ini pula, tumbuh gerakan Seni Rupa Islam Kontemporer, yang telah dua kali dipamerkan secara besar-besaran di Jakarta dalam Festival Istiqlal I (1991) dan Festival Istiqlal II (1995).” 

Kini, kita berdoa dan menghormati AD Pirous dengan menikmati segala warisan telah berpengaruh dalam seni dan tauhid di Indonesia. Begitu. 

Home 1 Banner

Human Lainnya

Home 2 Banner